Friday, December 28, 2007

Perbaikan Iklim Investasi : Roda Penggerak Pemulihan Ekonomi Indonesia

(Artikel Ditulis 21 Oktober 2004)

Tepat pukul 23.45 pada tanggal 20 Oktober 2004 presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, membacakan susunan kabinetnya, yang dinamakan Kabinet Indonesia Bersatu. Pengumuman yang dilakukan mendekati tengah malam ini mempunyai arti tersendiri bagi sosok SBY, demikian panggilannya.

Kemenangannya sebagai presiden Indonesia mengalahkan beberapa kandidat lainnya, termasuk mantan presiden Megawati Sukarno Putri, tidak terlepas dari kepribadian SBY yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai sosok yang penuh ketegasan. Terlihat dari tutur kata, susunan kalimat, hingga body language SBY menyiratkan sebuah ketegasan dan perubahan. Dan inilah yang memang dicari oleh masyarakat Indonesia, kita perlu pemimpin yang tegas, berwibawa dan membawa perubahan kearah yang lebih baik.

Kembali ke masalah pengumuman kabinet. Jauh jauh hari SBY telah mengeluarkan statement bahwa ia akan mengumumkan anggota kabinetnya pada tanggal 20 Oktober 2004, setelah ia dilantik secara resmi oleh MPR sebagai presiden keenam Republik Indonesia. Nah inilah yang ia lakukan. Apapun yang terjadi, SBY berusaha menepati apa yang telah ia janjikan. Kabinet diumumkan jam 23.45 tanggal 20 Oktober 2004, atau lima belas menit sebelum tanggal 21 Oktober 2004. Terlihat ketegasan, konsistensi dan ketepatan dari sosok SBY. Janji tanggal 20 Oktober ya 20 Oktober. Titik.

Namun, ketepatan mengumumkan kabinet bukan lah ukuran kesuksesan dari seorang presiden. Justru terpilihnya kabinet ini merupakan sebuah awal dari perjalanan panjang. Berbagai harapan telah disematkan oleh segenap rakyat Indonesia ke puncak Susilo Bambang Yudhoyono guna membawa Indonesia ke arah yang lebih maju, bangkit dari keterpurukan.

Berbagai kalangan sudah mengingatkan bahwa tugas yang akan diemban SBY sangatlah kompleks, rumit dan sulit. Mulai dari masalah pengangguran, perburuhan, korupsi, rendahnya investasi, hingga dilemma subsidi BBM. Dan kesemuanya itu jika dapat disimpulkan dalam suatu tujuan utama adalah bagaimana membangun kembali Indonesia guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pertumbuhan ekonomi yang mampu dirasakan oleh segenap rakyat dalam nuansa keadilan adalah jawaban yang harus segera diwujudkan oleh SBY. Pertumbuhan ekonomi, yang dinotasikan dalam kenaikan Gross Domestic Product (GDP), merupakan salah satu key performance indicator (KPI) dari kinerja SBY.

Pertanyaan besarnya dengan demikian adalah bagaimana menggerakan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, ditengah berbagai permasalahan yang ada.

Sebuah riset yang dilakukan oleh David Dollar, Mary Hallward-Driemeier dan Taye Mengistae (Juni 2004) yang diberi judul “Investment Climate and International Integration” mungkin dapat membantu pemerintahan baru dalam mengejar economic growth yang berkesinambungan.

Dalam riset tersebut, dicoba untuk mencari factor penentu yang krusial yang memberi kontribusi terhadap kemampuan suatu negara dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Riset tersebut mencoba menjawab apa saja yang dilakukan oleh suatu negara sehingga memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup besar, dan apa yang tidak dilakukan oleh suatu negara sehingga kehilangan kesempatan untuk meningkatkan GDP nya.

Diharapkan, resep yang dihasilkan oleh riset tersebut dapat dipakai di Indonesia, dengan sejumlah penyesuaian tentunya.

Riset dilakukan terhadap empat negara Amerika Latin (Brazil, Honduras, Nicaragua dan Peru) serta empat negara Asia (Bangladesh, China, India dan Pakistan). Riset tersebut mencoba mencari jawaban mengapa pertumbuhan ekonomi China dalam tahun 1980s hingga 1990s sangat tinggi; tingkat pertumbuhan Bangladesh, India dan Peru biasa saja; Brazil dan Pakistan tidak bertumbuh; dan Honduras serta Nicaragua malah negative GDP nya.

Metode yang digunakan dalam riset ini adalah menetapkan sejumlah hipotesa awal, diikuti dengan survey lapangan, lalu dilakukan uji hipotesa dan akhirnya dilakukan penarikan kesimpulan.

Adapun hipotesa yang diajukan adalah perdagangan internasional, yang diwakili oleh PMA dan PMDN yang melakukan ekspor, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Berdasarkan hipotesa ini, lalu diadakan survey terhadap ratusan perusahaan, baik PMA maupun PMDN exporter, di delapan negara tersebut. Adapun jenis industri tempat survey dilakukan adalah industri garmen dan industri padat karya. Dalam survey tersebut dicari factor apa saja yang menurut para pelaku industri mendorong mereka untuk melakukan investasi dan ekspansi usaha, terutama yang berhubungan dengan ekspor impor.

Argumen mengapa PMA dan PMDN yang melakukan export dijadikan key indicator adalah masalah permodalan dan penggerakan investasi. Untuk negara berkembang, masuknya perusahaan asing sangat diperlukan selain sebagai pemberi modal juga transfer teknologi.

Mengingat kondisi kedelapan negara tersebut pada awal 1980s mirip dengan Indonesia saat ini, ditambah dengan struktur industri garmen dan padat karya, maka mungkin hasil riset ini dapat digunakan serta diaplikasikan di Indonesia.

Apa hasil riset tersebut ? Singkatnya adalah negara yang sukses menaikkan pertumbuhan ekonominya dalam tahun 1980s hingga 1990s (China) adalah Negara yang mampu melakukan integrasi perdagangan internasional (PMA dan PMDN exporter). Sedangkan negara yang kurang sukses meningkatkan GDP nya (Bangladesh, India, Peru, Brazil dan Pakistan) adalah negara yang kurang maksimal memanfaatkan globalisasi. Dan sisanya, negara yang mengalami pertumbuhan negative (Honduras dan Nicaragua) adalah negara yang gagal berpartisipasi secara aktif dalam perdagangan internasional.

Untuk menarik investor asing dan dalam negri agar tertarik melakukan investasi dan perdagangan internasional, ada dua hal utama yang harus tercipta kondusif. Kedua hal tersebut adalah kebijakan perdagangan internasional dan iklim investasi.

Negara yang sukses dalam dunia perdagangan internasional harus memiliki kebijakan perdagangan internasional yang baik, yang diterima secara luas oleh para mitra dagangnya. Salah satu kebijakan yang menjadi perhatian adalah masalah trade barrier berupa tariff impor. China dalam sepuluh tahun terakhir berhasil menurunkan tariff impor dari rata rata 40% menjadi hanya 17%, sehingga negara tirai bamboo ini merupakan negara yang paling maju dalam perdagangan internasional. Sebaliknya, Pakistan yang kurang agresif dalam menurunkan tariff impor merupakan negara yang terbelakang dibanding tujuh negara lainnya dalam hal perdagangan interanasional.

Faktor kedua adalah iklim investasi yang kondusif. Berdasarkan survey pada ratusan perusahaan di delapan negara tersebut, ada empat factor penting dalam penentuan kondusif tidaknya iklim investasi. Keempat factor tersebut adalah lamanya barang keluar masuk pelabuhan, ketersediaan infrastruktur berupa listrik dan telepon serta fasilitas pembiayaan perbankan.

Lama sebuah barang dapat keluar atau masuk pelabuhan menjadi factor penting dalam suatu iklim investasi. Bagi para eksportir maupun importer, semakin lama barang tertahan di pelabuhan maka semakin besar mereka mengalami kerugian akibat modal kerja yang mati tertahan. China kembali menjadi juara dalam hal efisiensi kepabeanan ini. Rata rata waktu yang diperlukan untuk barang keluar masuk pelabuhan China hanya berkisar 4 hingga 6 hari. Sedangkan yang paling buruk adalah India dengan rata rata 16 hari.
Faktor kedua adalah ketersediaan tenaga listrik. Pengukuran yang dilakukan adalah kerugian yang diakibatkan oleh mati listrik. Di China, dalam setahun perusahaan mengalami kerugian akibat terputusnya hubungan listrik rata rata sebesar 1,7% dari total penjualan. Sementara rekor terburuk adalah India dan Pakistan yang mengalami kerugian sebesar 6%.

Faktor ketiga adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan sambungan telepon. Komunikasi merupakan factor penting dalam memperlancar bisnis, oleh sebab itu infrastruktur ini merupakan keharusan bagi perkembangan bisnis. Kembali yang menjadi jawara alias paling cepat sambungan teleponnya adalah China yaitu selama 16 hari. Dan yang paling lama adalah kota Dhaka 168 hari.

Faktor terakhir yang menjadi penentu kondusif tidaknya iklim investasi adalah kemudahan akses terhadap pembiayaan bank, khususnya dalam memperoleh modal kerja dan waktu yang dibutuhkan untuk proses kliring. Khusus untuk factor ini, China tampaknya agak tertinggal dari negara lainnya. Hal ini disebabkan oleh masih dimonopolinya pelayanan keuangan oleh pemerintah China. Di China, hanya 37% perusahaan PMA dan PMDN eksportir yang mempunyai akses terhadap modal kerja. Dan yang terbaik adalah Brazil dimana hampir 75% perusahaan memperoleh fasilitas overdraft. Untuk proses kliring, di China membutuhkan 5 hari kerja dan yang terbaik adalah Pakistan 2 hari kerja.

Dari hasil semua analisa diatas, tidak heran China merupakan negara yang paling pesat pertumbuhan GDP nya dalam kurun waktu 1980s hingga 1990s. Proses kepabeanan yang cepat, supply tenaga listrik yang terjamin, infrastruktur komunikasi yang baik (meski dalam hal akses permodalan sedikit terhambat) telah menjadikan China sebagai role model peningkatan pertumbuhan ekonomi. Belum lagi ditambah dengan kebijakan perdagangan internasional yang cukup moderat, tidak heran China saat ini merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan.

Lalu apa makna semua hasil riset ini bagi Indonesia yang saat ini mulai bangkit membangun dirinya ?

Pertama, mau tidak mau, suka tidak suka, kita adalah anggota masyarakat internasional. Hubungan dagang antar negara, berikut semua dampak globalisasi adalah menjadi tantangan sekaligus kesempatan yang harus kita gunakan sebaik baiknya untuk bangkit. Kita tidak bisa berkata “go to hell with others.” Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden baru harus memiliki paradigma ini, bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi kita tidak bisa sendirian, melainkan banyak pihak yang terlibat.

Kedua, sehubungan dengan hal pertama, maka membangun kepercayaan investor adalah hal yang sangat mutlak. Bukan saja kepercayaan investor dalam negri melainkan pula investor luar negri. Dengarkanlah keluhan para investor ini. Mulai dari lemahnya penegakan hukum, aturan yang tidak jelas seperti kasus free trade zone Batam, birokrasi yang berbelit belit, tingkat korupsi yang tinggi, masalah perburuhan yang dinilai merugikan pengusaha, hingga keamanan.

Ketiga, perhatikan factor factor yang menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dari sisi kepabeanan, bagaimana praktek di pelabuhan kita ? Apakah isu negative yang selama ini menerpa Bea dan Cukai hanyalah omong kosong atau kenyataan ?

Dari sisi kelistrikan, bagaimana supply listrik bagi industri di masa mendatang. Beberapa bulan lalu kita sempat dibuat khawatir atas rencana PLN melakukan pemadaman bergilir akibat kapasitas produksi listrik yang tidak memadai. Perlu dicarikan solusi yang tepat. Jangan sampai dunia usaha terpaksa menanggung beban tambahan membeli generator listrik.

Lalu mengenai infrastruktur telekomunikasi. Apakah saat ini sudah mencukupi ? Bagaimana dampak strategi yang diambil sejumlah pemain telekomunikasi yang masuk ke fixed wireless ? Fasilitas broadband kita bagaimana ? Internet saat ini sudah merupakan keharusan.
Dan terakhir bagaimana akses terhadap pelayanan perbankan ? Bagaimana tingkat suku bunga kredit kita, apakah masih bisa bersaing ? Dan yang terpenting, apakah perbankan mau menyalurkan kredit ke dunia usaha ?

Kita sudah belajar dari pengalaman delapan negara bagaimana mereka memberikan iklim investasi yang kondusif bagi para investor. Kita juga belajar dari delapan egara yang tidak memberikan iklim investasi yang kondusif. Golongan negara pertama kini memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan golongan lainnya agak tertinggal.
Marilah kita lihat ke diri kita sendiri, dan tanyakan lah hendak menjadi yang mana kita ini ? Pilihan ada di tangan kita, pilihlah yang terbaik. Maju terus Kabinet Indonesia Bersatu.

No comments: