Sunday, February 10, 2008

Suku Bunga Dan Reksadana

(Artikel Ditulis 26 April 2005)

Tren Suku Bunga
Bagi perbankan dan pelaku pasar uang hari rabu adalah hari yang selalu ditunggu tunggu karena pada hari tersebut Bank Indonesia melakukan lelang Sertifikat Bank Indonesia. Selain menyerap dana yang ada di pasar melalui lelang SBI ini Bank Indonesia juga menetapkan tingkat suku bunga SBI, yang menjadi patokan tingkat suku bunga pasar. Bahkan dalam beberapa literature tingkat suku bunga SBI ini dijadikan patokan bagi penentuan risk-free return di Indonesia.

Dan seperti biasa, hari rabu kemarin (red : 20 April 2005) kembali Bank Indonesia melakukan lelang SBI yang berhasil menyerap dana sekitar Rp 46,07 triliun. Tingkat suku bunga SBI jangka waktu 1 bulan ditetapkan sebesar 7,70% atau naik 17 basis poin dari minggu lalu. Sedangkan untuk tingkat suku bunga SBI jangka waktu 3 bulan ditetapkan sebesar 7,51%, naik 20 basis poin dibanding mingu lalu.

Ada hal yang menarik jika kita memperhatikan hasil lelang SBI ini. Dalam beberapa bulan terakhir ini terdapat tren kenaikan suku bunga SBI 1 bulan dari level 7,42% pada awal tahun hingga saat ini telah menyentuh level 7,70%, atau naik 28 basis poin. Sedangkan untuk SBI 3 bulan telah mengalami kenaikan sebesar 21 basis poin dari level 7,30% ke level 7,51%.

Dan tren kenaikan suku bunga ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga telah menjadi tren global. Amerika Serikat melalui The Fed telah menaikan suku bunganya ke level 2,75%. Selain itu, China juga yang selama ini konservatif dalam penetapan tingkat suku bunga, telah menaikan tingkat suku bunganya dalam 9 tahun terakhir untuk meredam memanasnya perekonomiannya.

Dari hasil analisa beberapa pengamat, diperkirakan suku bunga saat ini sedang mengalami tren naik sehubungan dengan ancaman inflasi yang melanda dunia. Kenaikan harga minyak mentah, memanasnya perekonomian China serta defisit anggaran Amerika Serikat yang semakin parah disinyalir menjadi penyebab utama inflasi.

Dampak Terhadap Reksadana
Tren kenaikan suku bunga ini ternyata memiliki dampak terhadap reksadana. Reksadana adalah sebuah instrument investasi dengan mekanisme mengumpulkan modal dari sejumlah investor untuk diinvestasikan di instrument investasi. Reksadana ini dikelola oleh sebuah manajer investasi.

Nilai dari sebuah reksadana biasanya dibuat dalam bentuk unit yang disebut Nilai Aktiva Bersih (NAB). Setiap hari NAB ini dikalkulasi berdasarkan return dari investasi. Jika investasi mengalami keuntungan (kerugian) maka NAB dari reksadana akan mengalami kenaikan (penurunan).

Dari jenisnya, reksadana dapat digolongkan menjadi empat golongan besar, yaitu reksadana pasar uang, reksadana pendapatan tetap, reksadana saham dan reksadana campuran.

Reksadana pasar uang adalah reksadana dimana investasi terbesar (80%) dilakukan pada instrument pasar uang seperti deposito, SBI dan obligasi jangka pendek (kurang dari 1 tahun).

Reksadana pendapatan tetap adalah reksadana dimana investasi tersebesar (80%) dilakukan pada instrument investasi yang memberikan return tetap seperti obligasi jangka panjang.

Reksadana saham adalah reksadana dimana investasi terbesar (80%) dilakukan pada pasar modal, terutama pada saham saham blue chip.

Dan terakhir reksadana campuran adalah reksadana dimana investasi dilakukan umumnya pada saham dan instrument pendapatan tetap dengan porsi seimbang, serta ditambah instrument pasar uang meski dalam porsi kecil.

Lalu bagaimana dampak tren kenaikan suku bunga ini terhadap reksadana? Dampak yang paling terasa adalah terhadap reksadana pasar uang dan reksadana pendapatan tetap. Sedangkan untuk dua jenis reksadana lainnya dampaknya dapat terjadi tetapi tidak langsung.

Pertama, kenaikan suku bunga ini akan berdampak positif terhadap reksadana pasar uang. Seperti yang telah dibahas, return reksadana pasar uang berasal dari return investasinya pada instrument pasar uang seperti SBI, dan deposito. Kenaikan suku bunga SBI tentunya akan meningkatkan return dalam bentuk bunga (baik itu SBI maupun deposito). Sehingga NAB reksadana pasar uang akan mengalami peningkatan.

Kedua, kenaikan suku bunga dapat berdampak negative terhadap reksadana pendapatan tetap. Salah satu instrument investasi terbesar dalam reksadan jenis ini adalah dalam obligasi. Return yang diperoleh ada dua yaitu coupon/bunga obligasi serta market value obligasi tersebut.

Dalam teori keuangan, market value dari obligasi adalah berbanding terbalik dengan tingkat suku bunga. Jika suku bunga naik (turun) maka nilai pasar dari obligasi akan turun (naik). Oleh sebab itu, tren kenaikan suku bunga ini akan membuat market value obligasi turun, sehingga return yang diperoleh reksadana pendapatan tetap akanberkurang. Atau dalam bahasa pasarnya NAB reksadana jenis ini akan negative.

Namun disisi lain, perlu diperhatikan bahwa return dalam bentuk coupon akan mengalami kenaikan, sejauh jenis obligasinya adalah variable rate, yang mengikuti pergerakan tingkat bunga. Namun jika jenis obligasi adalah fixed rate, maka kenaikan suku bunga tidak akan berdampak apa apa terhadap coupon return.

Oleh sebab itu, dalam membahas dampak tren kenaikan suku bunga terhadap reksadana pendapatan tetap perlu hati hati. Maka didepan dikatakan kenaikan suku bunga "dapat" (bukan pasti) berdampak negative terhadap NAB reksadana pendapatan tetap.

Ketiga, tren kenaikan suku bunga, secara tidak langsung, juga dapat berdampak negative terhadap reksadana saham. Logikanya, kenaikan suku bunga akan membuat investor lebih tertarik untuk investasi di pasar uang daripada pasar modal. Akibatnya, mereka menarik dananya dari pasar modal masuk ke pasar uang. Penarikan dana ini dapat menyebabkan tekanan jual terhadap saham, yang akibatnya harga saham akan turun.

Turunnya harga saham inilah yang dapat menyebabkan NAB reksadana saham mengalami penurunan. Namun hal ini baru terjadi jika asumsi penarikan dana dari pasar modal ke pasar uang benar benar terjadi. Sehingga dikatakan dampak kenaikan suku bunga terhadap reksadana saham adalah tidak langsung.

Terakhir, pengaruh kenaikan suku bunga ini terhadap reksadana campuran dapat dikatakan tergantung dari komposisi investasi dalam reksadana tersebut. Biasanya reksadana campuran ini melakukan investasi pada instrument saham, pendapatan tetap dan pasar uang.

Dari sini instrument investasi yang memiliki komposisi terbesar akan mempengaruhi NAB dari reksadana jenis ini. Misalnya jika sebagian besar berada pada instrument pendapatan tetap, maka kemungkinan besar reksadana ini akan stagnan atau negative. Namun jika pasar uang merupakan komponen terbesar, kemungkinan besar NAB nya akan positif.

Ramalan ke Depan
Jika kita menilik ke belakang, maka kita dapat melihat pertumbuhan return reksadana pendapatan tetap pada tahun 1999-2001 merupakan primadona. Hal ini disebabkan booming obligasi rekap.

Memasuki tahun 2002 hingga 2004 saat ini reksadana saham yang menjadi primadona. Hal ini tidak lepas dari bergairahnya bursa saham setelah terpuruk akibat krisis. Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Jakarta yang sempat anjlok ke level 400 saat ini sudah meroket menembus level psikologis 1000.

Lalu bagaimana untuk tahun 2005 ini? Reksadana manakah yang akan menjadi primadona.

Ada dua prediksi. Pertama, beberapa analis memperkirakan IHSG akan sulit bergerak lebih tinggi, terutama dengan adanya ancaman kenaikan suku bunga serta terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dólar Amerika. Jika scenario ini terjadi maka reksadana saham kemungkinan besar tidak akan semenarik tahun lalu.

Prediksi kedua, kenaikan suku bunga ini akan menjadi tren di tahun 2005 ini, dimana sejumlah negara akan meningkatkan suku bunga akibat ancaman inflasi. Jika scenario ini terjadi maka reksadana pasar uang akan menjadi primadona.

Lalu bagaiman reksadana pendapatan tetap dan campuran? Penulis memprediksikan reksadana ini masih akan tetap menarik. Namun demikian, return yang diperoleh kemungkinan besar tidak akan semenarik reksadana saham atau reksadana pasar uang.

Mau berinvestasi di reksadana? Jangan lupa untuk membekali diri dengan informasi. Selamat berinvestasi.