Wednesday, December 19, 2007

Logika Manusiawi : Refleksi Pemikiran Kwik Kian Gie

(Artikel Ditulis pada 19 Oktober 2004)

Beberapa minggu terakhir kita disibukkan oleh aktivitas pemilihan calon mentri oleh presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono, atau yang lebih dikenal dengan singkatan SBY.

Puri Cikeas Bogor tiba tiba menjadi primadona perbincangan di berbagai kalangan. Beredar pula sms yang berbunyi “Maaf dalam beberapa hari ini saya sulit dihubungi. Namun jika terpaksa dapat menemui saya di Cikeas Bogor sehubungan dengan proses fit and proper test”.

Berbagai kalangan hilir mudik di kediaman SBY untuk mengikuti wawancara sebagai mentri.

Namun di lain pihak, kita juga disibukan oleh berita naiknya harga minyak mentah dunia yang mencapai 55 dolar amerika per barrel nya. Berbagai dampak negative mulai terasa. Kekhawatiran timbul terutama yang berhubungan dengan kenaikkan harga BBM. Pemerintahan Megawati yang akan berakhir 20 Oktober ini sudah jauh jauh hari menyatakan bahwa BBM harus dinaikkan namun oleh pemerintahan mendatang.

Mengapa harus dinaikkan ? Jawabannya minimal ada dua. Pertama, untuk mengurangi beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah. Logikanya begini, harga BBM di dalam negri saat ini dijual jauh dibawah harga internasional sehingga terdapat selisih harga dalam negri dengan harga luar negri. Nah selisih harga ini harus ditutup. Dari mana sumber dana untuk menutupnya ? Ya dari APBN. Sehingga, semakin besar selisih harga BBM dalam negri dengan luar negri, maka semakin besar pula subsidi yang dibutuhkan. Dan semakin besar subsidi maka semakin besar deficit APBN.
Kedua, disparitas harga di dalam negri dengan harga di luar negri harus diperkecil untuk mengurangi penyelundupan. Ternyata disinyalir banyak oknum masyarakat yang tidak bertanggung jawab, yang hanya mementingkan perutnya sendiri, yang memanfaatkan kebijakan pemerintah memberikan BBM murah bagi rakyat. Mereka membeli dengan harga subsidi, lalu menjualnya dengan harga internasional. Wah untung gede.

Dalam tulisan ini akan dibahas masalah yang pertama. Untuk masalah yang kedua, biarlah kita serahkan kepada pihak yang berwenang untuk menertibkan ketidak tertiban ini.

Mari kita ulang asumsi pertama kita. Harga minyak internasional naik menyebabkan perbedaan harga dengan BBM dalam negri. Selisih harga ini harus ditutup oleh pemerintah melalui subsidi. Sehingga semakin besar kenaikkan harga minyak internasional maka semakin besar subsidi yang harus diberikan. Semakin besar subsidi maka tekanan terhadap APBN akan semakin besar. Alternatif untuk mengurangi tekanan deficit APBN ini adalah melalui kenaikkan harga BBM dalam negri. Dengan demikian subsidi minyak akan berkurang.

Apakah benar demikian ? Apakah tidak ada jalan lain ?

Sebuah alternative yang sangat kreatif diberikan oleh Kwik Kian Gie. Dalam tulisannya di harian Kompas tanggal 19 Oktober 2004 beliau memberikan uraian panjang lebar mengenai subsidi ini.

Berikut beberapa buah pemikiran Kwik Kian Gie dalam tulisan tersebut.

Pertama Kwik mempertanyakan hubungan korelasi antara kenaikkan harga BBM, subsidi dan deficit. Dalam APBN harga minyak naik dari 22 dolar amerika per barel menjadi 36 dolar amerika per barel. Kenaikkan ini menyebabkan naiknya subsidi BBM dari Rp 14,5 triliun menjadi Rp 63 triliun. Akibat kenaikkan subsidi ini maka deficit APBN membengkak dari Rp 24,4 triliun menjadi Rp 26,3 triliun.
Nah disini letak keanehannya. Subsidi BBM membengkak Rp 48,5 triliun namun tambahan deficit APBN akibat kenaikkan subsidi ini hanya Rp 1,9 triliun. Bagaimana bisa ? Ternyata jawabannya mudah, kenaikkan subsidi tidak melulu harus ditutup dengan uang. Bahkan, ada indikasi tidak perlu keluar uang.

Hal ini menunjuk pada poin kedua yang hendak ditelaah oleh Kwik. Kita selalu berpikir setiap kenaikkan harga minyak maka perlu dana untuk subsidi. Harga minyak dunia saat ini sekitar 50 dolar amerika per barel (1 barel = 180 liter). Dengan asumsi kurs IDR/USD = Rp 9.000 maka harga BBM rata rata Rp 2.500 per liter. Saat ini harga jual BBM rata rata Rp 2.000 per liter, dengan demikian setiap liter penjualan BBM pemerintah harus menanggung Rp 500. Apakah demikian ?

Menurut Kwik tidak demikian. Ia berpendapat bahwa selama ini yang dianggap pemerintah subsidi sebenarnya hanyalah opportunity cost yang hilang. Logikanya seperti ini : Cost yang ada dalam BBM adalah biaya explorasi (x) ditambah biaya pemrosesan menjadi bensin (y) dan ditambah biaya transportasi/distribusi (z).

Berdasarkan data di Indonesia, biaya pemrosesan (y) dan transportasi (z) adalah sebesar Rp 500 per liter. Nah sekarang tinggal bagaimana pemerintah menetapkan harga BBM berdasarkan komponen biaya explorasi (x). Berapa nilainya ? (Jadi sebenarnya pemerintah akan untung saat menjual BBM pada tingkat harga berapa pun, sejauh di atas Rp 500 per liter).

Menurut Kwik Kian Gie, penetapan harga ini adalah keputusan politik yang harus diambil oleh pemerintah Indonesia. Ada dua model yang dapat digunakan yaitu mengikuti harga internasional atau berdasarkan biaya dasarnya (y + z). Minyak bumi sebenarnya dapat diperlakukan seperti sumber daya alam lainnya di Indonesia, yang harus digunakna bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Sehingga, misalkan pemerintah menjual BBM dengan harga Rp 1.000 per liter saja, sebenarnya pemerintah Indonesia sudah untung. Masalahnya, pemerintah kita ingin menjual harga mengikuti harga internasional.
Nah di sini lah yang disebut oleh Kwik penetapan harga BBM adalah keputusan politik pemerintah. Pemerintah bisa menetapkan harga monopoli BBM di dalam negri (cost plus pricing method) guna menekan harga BBM sehingga tidak memerlukan subsidi. Atau pemerintah menetapkan harga BBM mengikuti harga internasional (market pricing method).

Jadi yang disebut subsidi BBM tidak lain adalah opportunity cost. Misalkan harga jual BBM di dalam negri saat ini Rp 2.000 per liter. Dengan kenaikan harga minyak dunia maka harga BBM menjadi Rp 3.000 per liter. Pemerintah mengatakan ada kenaikan subsidi sebesar Rp 1.000 per liter. Sebenarnya, angka Rp 1.000 itu adalah KEUNTUNGAN LEBIH jika pemerintah menjual berdasarkan harga internasional. Namun sebenarnya, pemerintah bisa saja menetapkan harga di dalam negri secara monopoli demi kesejahteraan rakyat.

Benar atau tidak pandangan Kwik Kian Gie tersebut tentunya masih memerlukan perdebatan yang cukup panjang. Namun, tidaklah terlalu buruk jika kita saat ini memiliki sebuah alternative dalam memandang masalah subsidi dan kenaikan harga BBM ini.

No comments: