Wednesday, December 19, 2007

Dedicated to Brandon

January 03, 2007 – Dedicated to Brandon

Terngiang di sanubari ku sebuah ayat yang telah lama ku kenal namun dalam beberapa hari ini memberi makna lebih berarti. Tercantum dalam 1 Corintians 13:13 “There are three things that will endure – faith, hope, and love – and the greatest of these is love”
Yang terbesar adalah cinta. Cinta kataku? Di tengah dunia yang begitu kejam ini masih berbicara cinta? Ah mimpi kamu? Benarkah cinta? Tidak bermimpi kah aku? Masih mengharapkan cinta?
Malam tahun baru lalu menjadi berkah bagi ku. Di tengah kesendirian, di mana orang lain disibukkan mempersiapkan liburannya, aku tidak memiliki apa pun untuk dilakukan. Diam di rumah, menonton DVD dan membaca buku adalah rencana ku untuk menghabiskan malam tahun baru ini. Tidak ada kegiatan, tidak ada acara, tidak ada pertemuan, tidak ada keramaian dan tidak ada pesta. Hanya aku bersama diriku berkencan dengan buku.
Namun hal ini tidak membuat hati ku gundah, hati ku sedih, hati ku murung. Sepi memang, tapi ditengah kesepian ini aku menemukan sebuah kehangatan. Sebuah cahaya yang telah ada dalam sanubari namun tak pernah aku sadari. Sebuah bintang telah bersinar di dalam hati tanpa kesadaran akan kehadirannya.
Adalah sebuah buku yang kubaca yang menyadarkan ku atas semua berkat yang telah aku terima ini. Sebuah buku karangan John Grogan yang diterjemahkan menjadi ”Aku & Marley : Hidup & Cinta Bersama Anjing Terburuk Di Dunia”.
Buku itu merupakan kisah nyata pengalaman keluarga Grogan atas anjing yang mereka miliki yang diberi nama Grogan’s Majestic Marley of Churchill, atau Marley untuk singkatnya. Marley adalah seekor anjing Labrador retriever yang memiliki kelainan. Ia nakal, penuh energi, merusak dan menelan apa saja. Merusak perabot rumah adalah kebiasaannya. Namun di balik kenakalan itu ia adalah sahabat yang paling setia. Ia menjadi penghibur saat keluarga itu mengalami keguguran, menjadi pelindung saat keluarga itu menghadapi bahaya dan menjadi sahabat anak anak dalam keluarga itu. Meski buas namun Marley berubah menjadi sosok lembut yang penuh kasih sayang di sisi seorang bayi.
Berikut saya kutip resensi buku tersebut :
John & Jenny baru memulai rumah tangga mereka ketika mereka membawa pulang Marley, seekor anak anjing berbulu kuning yang tidak bisa diam. Dan hidup mereka tak akan pernah sama lagi.
Segera Marley tumbuh menjadi seekor Labrador retriever seberat 97 pon yang siap menabrak apa saja, seekor anjing yang sulit dicari bandingannya. Ia menembus pintu angin, menggigiti tembok hingga berlubang, melemparkan air liur ke tamu tamu, mencuri celana dalam wanita dan memakan hampir semua benda yang bisa diraihnya, termasuk sofa dan perhiasan. Sekolah kepatuhan tidak membawa hasil – Marley diusir dari sekolah itu, begitu juga obat penenang yang diberikan doketer hewan disertai pesan : ”Jangan ragu ragu untuk menggunakan obat ini.”
Namun, hati Marley murni. Seperti halnya ia dengan riang menolak semua batasan yang diberikan untuk kelakuannya, cinta dan kesetiannya tidak mengenal kata cukup. Marley berbagi kebahagiaan bersama John & Jenny saat kehamilan pertama Jenny, dan kesedian mereka saat Jenny keguguran. Marley ada di sana saat akhirnya bayi bayi hadir dalam keluarga mereka dan saat jeritan korban penusukan terdengar di malam kelam. Marley menutup pantai untuk umum dan berhasil mendapatkan peran dalam sebuah film, dan ia slelau memenangkan hati orang di sekitarnya sementara ia tidak berhenti membuat kekacauan.
Dengan semua kenakalannya, Marley tetap setia dan menjadi contoh untuk sebuah model pengabdian, bahkan ketiga keluarga yang memeliharanya menghadapi masa sulit. Cinta tanpa syarat.”
Saat yang paling mengharukan dalam buku itu adalah saat Marley mendekati ajal. Meski sudah susah bergerak ia tetap setia menemani pemiliknya kemana pun pergi. Ia tetap setia menanti John pulang ke rumah untuk bermain bersama. Meski sudah sulit bergerak namun Marley tetap tidak kehilangan akal untuk membuat ceria seisi rumah. Meski akhirnya Marley kehidupan Marley berakhir dengan kematian, namun keberadaan Marley telah memberi terang dalam rumah tangga John & Jenny. Hidup Marley memang singkat, namun dalam singkatnya hidup Marley memberikan kehangatan cinta tanpa syarat yang abadi.
Aku menangis saat membaca buku ini. Langsung pikiran ku melayang beberapa tahun ke belakang. Bermula pada akhir tahun 1992 saat mama membawa seekor anak anjing lucu yang akhirnya kami beri nama Brandon. Seperti Marley, kedatangan Brandon membuat kehidupan keluarga kami tidak sama lagi.
Hari hari dipenuhi canda tawa dimulai terutama melihat kelucuan, keluguan serta kenakalan Brandon saat kecil. Momen pertama yang tak pernah ku lupa adalah saat ia pertama kali tinggal dalam keluarga kami. Kami belum pernah memiliki anjing sehingga tidak mempersiapkan tempat baginya. Waktu itu kami menaruh Brandon dalam box dan menaruh box tersebut pada kamar mandi belakang. Dan setiap kami meninggal kan dia, Brandon akan menangis. Saat kami datang membuka pintu langsung ekornya bergerak gerak seakan ingin berkata ”Nah ini dia, kemana saja kamu? Aku takut ditinggal sendirian.”
Akhirnya kami membawa dia ke ruang tamu dan sejak itu ruang tamu menjadi tempat tinggalnya. Brandon tumbuh menjadi anjing yang nakal sekaligus lucu. Dia tidak akan pernah berhenti menggonggong terhadap orang baru, namun tak pernah sekali pun terlintas dalam pikirannya untuk menggigit orang. Brandon adalah anjing rumahan yang tau sopan santun. Seumur hidup baru sekali ia mencuri makanan. Saat itu mama meninggalkan dia di kamar sendirian. Saat kembali Brandon tengah asik menikmati coklat yang ditaruh mama secara tidak sengaja. Kami semua akhirnya ketawa melihat tingkah pola Brandon. Bukannya merasa bersalah ia malah tersenyum seolah berkata ”Masih ada sisa nih, mau?”
Dari semua orang di rumah Brandon memang paling dekat dengan diriku. Ia sering tidur di kamar ku. Bahkan beberapa kali ia berhasil mengusirku dari ranjang sehingga aku tidur di lantai. Sering aku bermain bersama Brandon di ranjang dan saat kelelahan ia akan langsung tidur. Namun yang kadang bikin kesal dia akan tidur melintang di ranjangku sehingga tak ada ruang bagi diriku. Saat aku menggeser dia, dia akan menggeram marah. Kalau sudah begini hanya satu hal yang dapat aku lakukan – tidur di lantai.
Atau kalau dia tidur di lantai, saat menjelang pagi karena dingin ia sering naik ke ranjang dan tidur dibawah selimut bersama ku. Aku sangat menikmati hari hari bahagia bersama Brandon.
Acara penyambutan ku pulang sore hari sudah menjadi ritual pribadi kami berdua. Biasanya Brandon akan menyambut ku di depan pintu rumah dengan goyangan ekornya yang sangat lincah, bahkan aku kadang takut ekor itu akan putus. Saat aku masuk Brandon akan diam di depan pintu. Aku terus berjalan dan dia seolah cuek. Saat aku sampai di depan pintu kamarku yang kebetulan berada di bagian belakang rumah, Brandon akan pasang ancang ancang lari. Tinggal menunggu aba aba dari ku. Begitu aku berteriak ”BRAANDOOOONNNNN .....” maka dia akan lari secepat kilat tidak peduli ada apa di depan, langsung tabrak untuk menyusul ku. Dia akan menomplok ku dan menghadiahi jilatan yang tak kenal lelah seolah berkata ”Kemana saja kamu seharian. Aku kangen nih.” Setelah itu biasanya kami bergulat selama 10 menit sampai ia kelelahan. Itulah ritual rahasia kami.
Agustus 2002 adalah bulan yang sangat kelam dalam hidup ku. Brandon yang mencapai usia hampir 10 tahun mulai sakit sakitan karena tua. Dia mulai susah bergerak. Meski masih cukup lincah namun dia sudah tidak segesit sebelumnya. Matanya pun aku liat sudah agak rabun.
Namun satu hal yang sampai saat ini selalu membuat ku menangis saat mengingat. Pada malam terakhir dalam kehidupan Brandon, dia mendatangi satu per satu keluarga ku. Mulai dari adik ku, mama & papa. Dia akan bermain sebentar dengan mereka, seolah ingin menikmati saat saat terakhir dalam hidupnya. Kami waktu itu tidak tau bahwa malam itu adalah malam terakhir Brandon memberikan cahaya dalam kehidupan kami.
Dan terakhir dia datang ke kamar ku dan minta digendong. Brandon sudah tidak mampu loncat ke atas ranjang ku. Disana dia tidur di dada ku sekitar 20 menit. Seolah dia ingin merasakan detak jantung ku untuk terakhir kalinya. Aku membelai dia sambil meneteskan air mata. Aku tahu waktunya tidak lama lagi. Ia menjilat mukaku seperti ingin berkata ”Tak usah sedih. Aku menikmati waktu waktu indah bersama kalian. Kalian telah memberikan ku kasih yang terbaik. Kalian mengasihi ku. Aku tidak pernah menyesal pernah hidup bersama kalian. Aku bangga menjadi anjing kalian. Aku bangga menjadi bagian dari keluarga ini. Kini saatnya aku kembali ke Sang Pencipta. Tak usah sedih. Aku akan menunggu mu di sana. Dan jika waktu itu tiba, kita akan kembali bermain bersama. Namun untuk saat ini aku sudah lelah. Biarkan aku istirahat. Biarkan wajahmu yang tersenyum merupakan wajah yang ku kenang. Jangan menangis. Jangan pernah menyesal. Karena kita pernah mempunyai waktu yang terindah.”
Tidak Brandon, bukan kami yang memberi cinta tulus, tapi kamu. Kamu yang membawa terang, kamu yang memberikan kehangatan, kamu yang menghadiahi kami keceriaan. Cinta mu tulus, tanpa syarat. Kamu selalu mencintai kami, meski kadang kami menyulitkan mu. Selamat tinggal Brandon. Sampai ketemu di seberang sana.
… and the greatest of these is love.
In memory of Brandon, my best friend next to Jesus.

No comments: