Tuesday, December 18, 2007

Obligasi Rekap : Dampak dan Implikasinya

(Artikel ini ditulis pada 20 Mei 2002)

Beberapa saat yang lalu pemerintah telah berhasil melakukan restruktur utang luar negri dalam forum Paris Club, dimana Indonesia berhasil memperoleh kepercayaan dari para kreditur luar negri terhadap pembayaran utang yang jatuh tempo. Dalam pola restruktur tersebut, pemerintah Indonesia mendapatkan keringanan berupa perpanjangan tenor pembayaran utang yang seharusnya jatuh tempo tahun ini, menjadi beberapa tahun ke depan. Dengan demikian, beban pembayaran cicilan bunga dan pokok yang jatuh tempo yang sedianya harus diselesaikan tahun ini, menjadi berkurang meski tetap tidak menyelesaikan masalah yang ada. Namun demikian, tentu saja pemerintah Indonesia mendapatkan keringanan cash flow dalam APBN, berupa dana tunai yang harus disediakan jika utang tersebut harus dibayar tahun ini juga.

Namun demikian, sebenarnya permasalahan utang luar negri tersebut tidaklah segawat utang dalam negri, yang juga harus dipikirkan oleh pemerintah. Ada beberapa hal yang sebenarnya membuat utang dalam negri jauh lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan utang luar negri. Pertama, masa jatuh tempo utang luar negri umumnya jangka panjang, sedangkan utang dalam negri sebagian besar merupakan utang jangka pendek.

Kedua, suku bunga utang luar negri umumnya sangat kecil sekitar 3% hingga 5%, sedangkan utang dalam negri rata rata mempunyai suku bunga sebesar 15% hingga 18%. Dengan demikian tentu saja dana yang harus disediakan bagi pembayaran bunga akan lebih besar bagi utang dalam negri.

Ketiga, para kreditor luar negri umumnya memberikan grace period bagi Indonesia, dimana utang dalam negri jarang memberikan kemudahan ini.

Keempat, bagi utang luar negri terdapat forum seperti Paris Club dan London Club, yang berfungsi sebagai mediator guna melakukan restrukturisasi utang jika pemerintah Indonesia mengalami kesulitan. Sedangankan untuk utang dalam negri, tidak ada fasilitas restrukturisasi utang. Sehingga mau tidak mau pemerintah harus menyediakan dana guna pelunasan utang dalam negri saat jatuh tempo. Kealpaan pemerintah dalam memenuhi kewajiban dalam negri ini dapat berakibat fatal bagi peringkat Indonesia di mata investor asing, terutama berdasarkan peringkat Standar and Poor serta Moody’s Investor.

Kelima, masih berhubungan dengan alasan keempat, dalam utang luar negri sering terjadi para kreditor memberikan hair cut jika dilihat pemerintah sudah tidak memiliki likuiditas dan solvabilitas dalam memenuhi kewajibannya. Sedangkan dalam hal utang dalam negri, hair cut hampir tidak pernah ada. Meski pun ada, tentunya akan berdampak sangat negatif terhadap country risk kita dimana hampir dipastikan tidak akan ada kreditor ataupun investor yang mau memasukkan dananya lagi di Indonesia.

Setelah menilik beberapa alasan di atas, terlihat bahwa sebenarnya problem pemerintah dalam pengelolaan utang dalam negri jauh lebih sulit dibandingkan dengan utang luar negri. Lalu pertanyaan berikutnya adalah seberapa besar sebenarnya utang dalam negri pemerintah kita ini. Dalam tulisan ini, pembahasan akan dibatasi ke dalam utang dalam negri dalam bentuk obligasi rekap yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka menyehatkan perbankan.

Berdasarkan data BPPN per tanggal 25 January 2002, total hutang dalam negri berupa obligasi pemerintah berjumlah Rp 689,02 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 258,32 triliun berupa obligasi yang dikeluarkan dalam program BLBI (Bantuan Likuidasi Bank Indonesia) dan program penjaminan bank. Sedangkan sisanya sebesar Rp 430,70 triliun berupa obligasi rekap.

Melihat angka angka tersebut mungkin tidak berarti apa apa. Namun coba perhatikan beban yang harus ditanggung pemerintah setiap tahunnya. Dari pengeluaran obligasi tersebut, pemerintah tentunya harus mengeluarkan dana yang digunakan untuk membayar coupon atas obligasi tersebut, atau yang biasa disebut bunga atas utang. Dengan memperhatikan rata rata bunga atas obligasi, pemerintah Indonesia setiap tahunnya harus menyediakan dana sebesar Rp 60 triliun bagi pembayaran bunga. Bandingkan dengan beban bunga utang luar negri yang tiap tahunnya hanya sekitar U$ 2 miliar, atau dengan kurs Rp 9.500 akan didapat angka Rp 19 triliun rupiah. Jelas terlihat beban bunga utang dalam negri saja sudah sebesar 3 kali beban bunga utang luar negri.

Dan yang membuat kita bergidik, berdasarkan Economic Review BPPN bulan April lalu, akumulasi beban bunga dan pokok utang luar negri kita akan mencapai Rp 7.000 triliun rupiah jika pemerintah tidak segera menyelesaikan masalah tersebut secepatnya. Dapatkah anda bayangkan dengan utang dalam negri sebesar Rp 689 triliun saja, beban bunga tiap tahun yang dikeluarkan oleh pemerintah akan sebesar Rp 60 triliun. Apa arti Rp 60 triliun tersebut. Artinya akan ada dana yang harus dianggarkan oleh APBN guna pembayaran bunga. Ibarat perusahaan, cash flow yang ada harus dicadangkan guna pembayaran bunga. Saat ini saja, guna pemenuhan pendapatan APBN, pemerintah telah menaikkan pajak berulang kali, bahkan terkesan hantan kromo. Selain itu, guna menekan pengeluaran, pemerintah sebenarnya sudah tidak dapat berbuat apa apa bagi pembangunan infrastruk tur. Yang dilakukan saat ini praktis hanya pemeliharaan saja. Oleh sebab itu tidak heran kita melihat banyaknya jalan yang berlubang dan fasilitas umum yang tidak terawat.

Kembali ke permasalahan kita, dengan beban Rp 60 triliun saja per tahunnya kita sudah sangat kesulitan saat ini. Apalagi dengan membengkaknya utang dalam negri hingga sebesar Rp 7.000 triliun, dimana beban bunga yang harus dibayarkan tiap tahunnya sekitar Rp 608 triliun. Jika dengan beban Rp 60 triliun saja pembangunan sudah tidak jalan dan masyarakat dicekik oleh pajak, bagaimana dengan Rp 608 triliun. Mungkin negara ini sudah bubar.

Oleh sebab itu, keberhasilan restruktur utang luar negri dalam Paris Club janganlah menjadikan pemerintah merasa berhasil. Sebab, masalah yang gawat sebenarnya adalah penanganan utang dalam negri.
Jika dalam penanganan utang luar negri pemerintah mengalami kesulitan, kita dalam mengatasinya dengan melakukan restrukturisasi atau meminta hair cut. Namun tidak demikian dengan utang dalam negri.
Dalam tulisan berikutnya, akan dibahas mengenai apa itu obligasi rekap dan asal muasalnya. Selamat menikmati.

No comments: