Friday, January 4, 2008

Booombastis : Refleksi Rekor IHSG

(Artikel Ditulis 14 November 2004)

Pak Anton berteriak gembira. Bagaimana tidak, investasi yang ditanamkannya di saham Astra Internasional (ASII) melonjak drastis. Pada tanggal 1 November lalu, atas saran seorang temannya yang ahli keuangan, Pak Anton membeli 20 lot saham ASII di harga Rp 7.850/lembar. Dan pada hari Jumat kemarin, tepatnya tanggal 12 November, Pak Anton melepas sahamnya di harga Rp 8.650. Sungguh tidak terduga, keuntungan 10,19% hanya dalam 2 minggu. Jadi juga akhirnya berlibur ke Eropa pikir Pak Anton.

Ternyata kegembiraan tersebut bukan hanya dialami Pak Anton. Ibu Tuti juga mengalami keuntungan 9,20% dalam 2 minggu pada saham Telkom (TLKM). Ia masuk pada harga Rp 4.350/lembar dan dijual pada level Rp 4.750.

Dan yang paling dashyat keuntungannya diperoleh Bung Priyo yang melakukan investasi pada saham HM Sampoerna (HMSP). Ia memperoleh keuntungan sebesar 18,33%.

Kegembiraan ketiga orang tersebut hanyalah sebagian kecil dari kegembiraan yang dialami ratusan investor yang menanamkan uangnya di pasar modal. Bagaimana tidak, dalam beberapa bulan terakhir sejak Indonesia resmi memiliki pemerintahan baru, hampir semua harga saham yang tercatat di Bursa Efek Jakarta (BEJ) mengalami kenaikan. Hal ini tercermin dari melonjaknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta, yang merupakan rata rata tertimbang dari harga saham di BEJ.

Dalam tiga hari terakhir, mulai tanggal 10 November hingga 12 November, setiap hari kita melihat bagaimana IHSG terus memecahkan rekor tertinggi. Hingga penutupan jumat 12 November lalu, IHSG bertengger pada level 934,03. Level ini merupakan level tertinggi sejak bursa saham di Indonesia berdiri. Untuk tahun 2004 ini saja, IHSG telah mengalami kenaikan sebesar 30%. Apa artinya? Jika pada 1 January kita melakukan investasi secara proposional atas saham saham yang tercatat di BEJ, maka per 12 November kemarin kita telah mengantongi laba sebesar 30%.

Namun sayangnya ada seorang teman kantor Pak Anton, yaitu Mba Rifka yang ketinggalan. Saat teman temannya ramai membeli saham, ia lebih memilih deposito. Setelah melihat teman temannya untung besar, Mba Rifka mulai mempertimbangkan untuk masuk ke saham. Pertanyaannya, tepatkah masuk ke saham saat ini?

Sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, alangkah lebih baik kita menelusuri penyebab dari melonjaknya IHSG belakangan ini. Dengan mengetahui alasannya, mungkin kita dapat menarik suatu tren yang dapat kita pakai untuk memutuskan apakah terus berinvestasi di saham, atau mulai hati hati.

Ada sejumlah argumen yang diajukan oleh beberapa ekonom dan analis atas kenaikan harga saham ini. Pertama, terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono yang didampingi oleh Jusuf Kalla dinilai sejumlah kalangan sebagai “market friendly”. Mereka berdua adalah pilihan yang dinilai tepat oleh para investor untuk menahkodai Indonesia. Mereka berdua dianggap dapat memberikan kepastian hukum bagi para investor. Oleh sebab itu, investor mulai yakin untuk menanamkan modalnya kembali di Indonesia.

Kedua, sebagai dampak dari terpilihnya SBY-JK, bukan saja investor lokal yang bergairah. Investor asing pun mulai berani untuk menanamkan modalnya di Indonesia, minimal di pasar modal. Hal ini juga terlihat dari komitmen sejumlah pengusaha asal China dan Jepang untuk memperluas investasinya di Indonesia.

Ketiga, roda perekonomian Indonesia sudah mulai bergerak, dimana dalam skala mikro sejumlah emiten (perusahaan yang tercatat di BEJ) membukukan keuntungan yang cukup besar. Dengan prospek yang membaik ini, membuat para investor tertarik untuk masuk kembali ke pasar modal.

Keempat, tren kenaikan suku bunga belakangan ini menyebabkan investasi pada instrument obligasi kurang menguntungkan. Ditambah dengan kenaikan suku bunga yang dilakukan The Fed ke level 2%, membuat mata uang rupiah kurang menarik. Oleh sebab itu, para investor mulai mengalihkan dana investasinya ke instrumen lain yang menarik, yang salah satunya adalah pasar modal.

Kelima, terpilihnya kembali George W. Bush sebagai presiden Amerika Serikat untuk masa jabatan kedua membuat bursa saham global bergairah. Meski kurang populer, George W. Bush dipersepsi oleh pasar sebagai pemimpin yang lebih “market friendly” dibanding John Kerry. Oleh sebab itu, bursa saham Amerika mulai bergairah dengan terpilihnya Bush. Karena pasar Amerika merupakan salah satu patokan dunia, maka bergairahnya pasar modal Amerika juga menyebabkan bergairahnya bursa saham global, yang salah satu dampaknya dirasakan oleh Bursa Efek Jakarta.

Terakhir adalah faktor “window dressing”. Apa itu window dressing? Secara umum memang istilah ini tidak diakui dalam literatur manajemen keuangan. Namun dalam praktek sehari hari, dapat dikatakan bahwa ini adalah kegiatan mempercantik diri yang dilakukan oleh para emiten. Bagaimana caranya? Dengan meningkatkan harga saham perusahaannya di bursa. Apakah ini legal? Jika berbicara masalah ini kita akan masuk ke dalam persepsi. Legal atau tidaknya tergantung persepsi masing masing pihak.

Mungkin lebih baik kita menanyakan mengapa hal ini dilakukan? Dalam literatur manajemen keuangan disebutkan tujuan dari perusahaan (yang notabene dikomandoi oleh tim manajemen) adalah memaksimalkan nilai perusahaan sehingga para pemegang saham merasa diuntungkan.

Para pemegang saham adalah pemilik perusahaan. Saham yang dimilikinya adalah bukti otentik kepemilikan pada perusahaan tersebut. Sehingga dapat dikatakan sebuah perusahaan terdiri dari jumlah saham yang dimiliki para pemegang sahamnya. Oleh sebab itu salah satu metode yang paling umum dalam menilai sebuah perusahaan adalah dengan melihat harga sahamnya di pasar. Jika harga sahamnya naik (turun) maka dapat dikatakan nilai perusahaan itu naik (turun).

Oleh sebab itu, salah satu cara untuk memaksimalkan nilai perusahaan, yang adalah tugas dari manajemen, adalah dengan meningkatkan harga sahamnya. Dan sering kali ukuran kesuksesan dari manajemen dilihat dari harga saham perusahaan tersebut. Karenanya, sering kali manajemen berusaha menaikkan harga saham perusahaannya.

Salah satu saat yang paling tepat untuk melakukan window dressing biasanya dilakukan menjelang akhir tahun, dimana perusahaan akan melakukan tutup buku. Harga saham yang tercatat pada hari terakhir perdagangan di BEJ akan dijadikan patokan harga saham bagi perusahaan tersebut untuk tahun berjalan. Oleh sebab itu, menjelang bulan December ini kemungkinan besar akan terjadi aksi window dressing.

Bagaimana kita sebagai investor menyikapi window dressing ini? Jika kita telah memiliki saham tersebut sebelum window dressing dilakukan (saat harga saham masih murah), tentunya kita akan untung besar saat window dressing dilakukan (harga saham melonjak).

Namun jika kita belum memiliki saham emiten tersebut maka kita perlu berhati hati. Jika window dressing dilakukan dengan dasar perbaikan fundamental perusahaan tersebut, maka tidak jadi soal. Tetapi jika aksi mengerek harga saham ini tidak diikuti perbaikan fundamental perusahaan, maka kenaikan harga saham ini adalah semu dan sewaktu waktu bisa terjadi koreksi tajam. Aksi inilah yang sering dinamakan “goreng menggoreng saham”.

Mari kita kembali ke Mba Rifka. Pertanyaannya adalah apakah sebaiknya saat ini ikut masuk berinvestasi ke saham setelah pasar modal melonjak 30% ke level 934? Ada beberapa pertimbangan yang harus diambil.

Pertama, memanfaatkan momentum “window dressing”. Dengan asumsi window dressing akan terjadi pada bulan December, maka masih ada potensi keuntungan jika masuk ke pasar sekarang. Beberapa analis pun memprediksikan IHSG dapat tembus di atas level 1.000. Namun perlu diperhatikan apakah ini akan terjadi sebelum akhir tahun atau tahun depan.

Kedua, kemungkinan terjadinya aksi profit taking. Para investor seperti Pak Anton yang telah membukukan potential gain akan melakukan profit taking. Akibat dari aksi profit taking ini, IHSG akan tertekan, harga saham akan turun. Penulis memprediksikan, pada perdagangan hari pertama setelah libur Lebaran (22 November) kemungkinan besar akan terjadi sejumlah aksi profit taking. Oleh sebab itu, bagi para investor yang ingin masuk ke pasar modal, lebih baik mengamati satu atau dua hari perdagangan, untuk melihat tren bursa seperti apa. Jika memang terjadi koreksi, inilah saat yang tepat untuk membeli saham.

Ketiga, berinvestasilah pada saham blue chip. Penulis memilih kata “berinvestasi saham” dibanding “bermain saham” karena memang pasar modal adalah suatu instrumen investasi jangka panjang. Dengan memilih saham blue chip seperti Astra Internasional, HM Sampoerna, Gudang Garam, Telkom, Indosat, Bank BCA dan lainnya (terutama yang masuk dalam kategori LQ45) ada beberapa keuntungan bagi investor.

Keuntungan pertama adalah likuiditas. Hampir semua saham blue chip adalah saham likuid. Artinya saat kita ingin membeli (menjual) hampir dapat dipastikan ada pihak lain yang menjual (membeli).

Keuntungan kedua adalah fundamental perusahaan yang cukup baik. Untuk menjadi saham blue chip berbagai aturan ketat telah ditentukan oleh pihak otoritas BEJ, terutama dari segi kesehatan keuangan emiten. Oleh sebab itu dapat dikatakan saham blue chip memiliki tingkat kesehatan yang “lebih baik” dibanding saham lainnya, meski argumen ini tidak selalu benar. Mungkin analoginya adalah sopir yang memiliki SIM dan yang tidak. Kita akan lebih aman berpergian dengan sopir yang telah memiliki SIM dibanding yang tidak, meski tidak selalu sopir yang memiliki SIM mengendarai mobil lebih baik dibanding sopir yang tidak memiliki SIM.

Keempat, berinvestasilah jangka panjang. Jika kita membaca nasihat sejumlah pakar yang telah sukses dalam pasar modal, seperti Warren Buffet, Benjamin Graham dan John Neff, umumnya mereka memberi nasihat yang sama. Berinvestasi dalam saham adalah investasi jangka panjang. Dengan berinvestasi jangka panjang, kita tidak terlalu dipusingkan oleh pergerakan teknikal saham yang kadang naik kadang turun. Berdasarkan studi empiris, dalam jangka panjang investasi dalam saham akan menguntungkan. Salah satu contohnya, meski tahun 1998 bursa saham Indonesia sempat anjlok hingga ke level 300an, namun kini telah kembali ke level sebelum krisis (700an), bahkan lebih tinggi lagi (900an).

Mengakhiri tulisan ini, ada sebuah nasihat dari pakar investasi Roy Sembel. Ia mengatakan ada tiga “SI” yang harus dilakukan agar sukses berinvestasi. Ketiga “SI” itu adalah “viSI”, “edukaSI” dan “akSI”. Sebelum melangkah berinvestasi pertama tama kita harus mengerti tujuan berinvestasi (viSI). Berapa keuntungan yang kita harapkan, jangka waktu investasi yang kita inginkan serta investasi dalam instrumen apa.

Setelah itu, kita harus belajar tentang instrumen investasinya (edukaSI). Misalnya kita ingin berinvestasi dalam saham, kita perlu mengerti bagaimana pergerakan saham itu, faktor faktor apa saja yang mempengaruhi, kondisi market saat ini, saham apa yang memiliki fundamental bagus serta saham apa yang harus dihindari.

Setelah jelas kita mau berinvestasi di mana dan tau aturan mainnya, maka barulah berinvestasi (akSI).

Jangan dibalik. Kadang kala kita membeli saham dulu tanpa mengetahui fundamental saham tersebut. Setelah beli baru kita mencari informasi. Jika saham yang kita beli bagus maka kita untung. Namun bagaimana jika “saham gorengan” yang kita beli. Dan parahnya, setelah rugi baru kita bertanya “Why am I buying this stock in the first place?” Jika ini yang kita lakukan, maunya untung eh malah buntung.

Mau investasi saham ..... jangan lupa teliti dulu sebelum membeli.

No comments: