Monday, March 17, 2008

Bermimpi Jadi Bernanke (BJB)

The Following Takes Place Between 9 p.m to 10 p.m

Waktu baru saja menunjukan jam 9 malam saat hp saya berdering. Ternyata dari salah satu media yang hendak mewawancarai saya tentang kemungkinan rencana the Federal Reserve menurunkan suku bunga pada FOMC meeting besok.

Namun dengan berat hati saya menolak memberikan komentar karena saya bukan lah Ben Bernanke dan merasa tidak memiliki kompetensi untuk berkomentar. La wong mikirin IHSG aja sudah bingung, ini malah disuruh mikir the Fed. Akan tetapi sang wartawati tidak mau menyerah.

“Tolang dah Pa Danny kasih komentar. Kita sudah mau naik cetak tapi saya belum dapat tanggapan dari analis nih. Dulu waktu di Valbury Pa Danny rajin memberikan komentar, kok sekarang jadi pelit sih”

Karena merasa tidak enak akhirnya saya memberikan komentar “Saya rasa hasil the Fed besok ya kalau suku bunga tidak turun ya berarti tetap”

Jawaban yang aneh pikir si wartawati. Namun karena sudah terdesak deadline, komentar saya yang tidak berbobot itu naik cetak juga.

Namun malamnya saat hendak tidur saya merasa sangat bersalah karena sudah memberikan jawaban yang ngaco. Akhirnya saat tertidur saya bermimpi menjadi Ben Bernanke.


The Following Takes Place Between 10 p.m to 5 a.m

Saat ini saya sedang berada di sebuah ruangan dibantu dua orang penasihat saya. Saya sangat bingung menghadapi FOMC besok. Apa yang harus saya lakukan? Menurunkan atau kah membiarkan the Fed fund tetap pada level saat ini di 3%.

Karena bingung saya mengundang dua orang penasihat saya. Mereka dulu nya adalah mahasiswa saya yang paling pintar selama saya mengajar di Progam Pasca Sarjana Universitas Bina Nusantara. Untuk menjaga kerahasiaan identitas mereka, saya akan menyebut mereka dengan inisial BH dan EH (bagi yang bertanya tanya siapakah mereka, saya dapat pastikan BH bukanlah Budi Hartanto dan EH bukanlah Elisa Huang).

“Bud, gimana nih besok? Saya harus turunin atau membiarkan suku bunga nih?”

“Saya rasa Mr. Chairman, anda harus menurunkan suku bunga karena teman teman kita di Wall Street mengharapkan anda menurunkan antara 100 bps hingga 200 bps. Jika ini tidak diikuti maka DJIA bisa terjun bebas.”

“Maaf Mr. Chairman, saya tidak setuju dengan Pa Budi,” sanggah Bu Elisa “Menurut saya sangat rawan untuk menurunkan suku bunga saat ini karena adanya ancaman inflasi. Harga minyak dalam satu tahun terakhir telah naik 81% dari $58/barrel menjadi $105/barrel.”

“Ya memang benar apa yang Bu Elisa katakan,” Pa Budi memotong pembicaraan “Justru itu kita harus menurunkan suku bunga. Dengan naiknya harga minyak maka biaya hidup akan naik. Untuk mengurangkan beban konsumer justru kita harus menurunkan suku bunga sehingga mereka dapat spending lebih banyak.”

“Benar juga,” saya menanggapi “Bu Elisa, semisal daya beli berkurang akibat inflasi bukankah kita harus meringankannya dengan menurunkan suku bunga?”

“Bisa ya bisa tidak Mr. Chairman. Justru dengan tingkat bunga tinggi akan mengurangi spending masyarakat yang pada akhirnya dapat mengerem tingkat inflasi.”

“Analisa yang ngaco” kembali Pa Budi menyanggah “Hal itu bisa terjadi jika inflasi disebabkan oleh demand pull (red : entah apapun artinya ini). Namun inflasi saat ini disebabkan oleh cost push sehingga mengerem spending dengan mempertahankan tingkat suku bunga tidak akan bermanfaat. Justru dengan turunnya suku bunga ekspektasi konsumen akan membaik dan ini akan menggairahkan Wall Street.”

“With all due respect sir,” kali ini Bu Elisa yang menyanggah “Your main job here is to handle inflation NOT to entertain Wall Street. Wall Street hanya sebagian dari perekonomian. Ada tanggung jawab yang lebih besar yang menyangkut keseluruhan industry. And in my opinion sir, keeping the fed rate high is the only way to serve that purpose.”

“Semisal anda menurunkan suku bunga” sambung Bu Elisa “Hal ini akan menyebabkan nilai tukar dollar kita melemah dibanding mata uang negara lain, terutama Yen Jepang dan Euro. Jika hal ini terjadi, investor akan mengalihkan dana nya ke komoditas seperti emas dan minyak. Akhirnya minyak akan naik lebih tinggi lagi, inflasi ikut terdongkrang. Inflasi naik masyarakat tambah takut. Akhirnya mereka menarik dananya dari pasa modal dan membeli emas serta minyak dan mengurangi spending mereka. Ini akan bertambah buruk Mr. Chairman.”

“Hhmmm … anda benar Bu Elisa. Ini akan menjadi lingkaran setan. Pa Budi, bagaimana tanggapan anda?”

“Saya setuju dengan pendapat itu, namun saat ini sangat krusial menyelamatkan investasi masyarakat kita yang ditanamkan di bursa saham. Sejak October tahun lalu DJIA telah terkoreksi 15% lebih, itu berarti uang masyarakat Amerika yang ditanamkan di bursa saham telah berkurang 15%. Uang pensiun para baby boomer menyusut 15%. Dan ingat Mr. Chairman, anda terpilih karena dukungan mereka. Tentunya anda tidak mau membuat pendukung anda marah.”

“Oh stop that crab Bud. This is economic not politic” sergah Bu Elisa dengan muka memerah.

“Oh really? Tell that to those voters, will you!”

“Oke oke stop. I agree with Elisa. Let’s keep this on economic. Do we understand each other?”

“Yes Mr. Chairman” jawab Bu Elisa dan Pa Budi bersamaan.

“Oke Budi, you first. Please give me your assessment if we cut the rate.”

“Thank you Mr. Chairman. Saat kita menurunkan suku bunga sesuai dengan ekspektasi market, kita akan memberikan KESAN bahwa kita serius menyelamatkan pasar modal. Ini yang diperlukan market sebenarnya. Persepsi bahwa kita serius memperhatikan Wall Street. Jika ini dilakukan bursa akan rebound, ketakutan masyarakat lenyap. Mereka akan optimis akan masa depan. Akibatnya mereka akan berani meningkatkan spending mereka. Saat spending naik, maka roda ekonomi mulai bergerak. Perusahaan akan mulai mempekerjakan para pengangguran. Disposible income akan naik, akhirnya memberikan sinyal positif bahwa resesi berakhir. Yang terpenting adalah persepsi sir.”

“Your turn Elisa. Give me your assessment if we don’t cut the rate.”

“Thank you sir. Saya melihat apa yang terjadi di Wall Street akibat masalah sub-prime morgate serta high oil cost. Banyak warga kita yang membeli rumah dengan kredit saat ini dihadapi dengan kenyataan nilai asset rumah mereka menyusut dan mereka kesulitan membayar cicilan. Jika dibiarkan rumah mereka bisa disita. Selain itu tingginya harga minyak menyebabkan biaya hidup naik. Kombinasi atas kedua hal ini menyebabkan masyarakat mengurangi spending mereka. Pengurangan ini mengakibatkan GDP turun dan bisa mengarah ke resesi.”

“Sedangkan untuk kenaikan harga minyak, saya pribadi melihat akibat ulah para spekulan dan investor yang mengalihkan investasi mereka dari saham ke emas dan minyak. Pengalihan ini disebabkan oleh ketakutan atas resesi serta melemahnya nilai tukar dollar Amerika. Akibatnya mereka mencari alternatif investasi.”

“Jadi Mr. Chairman,” lanjut Bu Elisa “Saya melihat menurunkan suku bunga bukanlah solusi yang tepat. Ibarat orang demam karena radang tenggorokan tapi hanya diobati dengan paracetamol. Demam nya memang turun, tapi radang tenggorokannya tidak diobati. Paracetamol hanya mengobati gejala namun penyakit intinya tidak diobati.”

“Jadi Elisa,” saya menegaskan “Anda tidak merekomendasikan penurunan suku bunga sebagai solusi.”

“That’s right Mr. Chairman.”

“Tolong elaborate lebih jauh assessment anda tentang melemahnya nilai tukar dollar sehingga investor beralih ke emas dan minyak.”

“Yes sir Mr. Chairman. Keputusan kita melakukan invasi ke Irak menyebabkan anggaran kita mengalami defisit yang sangat besar, bahkan mungkin salah satu defisit terbesar dalam sejarah Amerika. Akibatnya para investor pesimis dengan dollar Amerika dan banyak negara mulai mengalihkan cadangan devisa mereka dari dollar ke euro. Jadi menurut saya …”

“Oh c’mon” potong Pa Budi “Bukannya kita telah sepakat menjauhi politik dalam analisa kita ini. Saya tau anda salah satu yang menentang tindakan militer kita membebaskan Irak, dan bukan invasi, Bu Elisa. Namun dalam ….”

“Bud … let her finish” saya memotong “Your turn will come”

“Thank you Mr. Chairman” Bu Elisa berseri karena merasa di dukung “Saya tetap yakin dengan mempertahankan suku bunga pada tingkat ini akan mampu membuat anda mengendalikan tingkat inflasi. Jika anda menurunkan suku bunga belum tentu Wall Street akan pulih karena masalahnya adalah ketakutan sub-prime mortgage. Sumber permasalahan Wall Street lebih dalam dari itu. Penurunan suku bunga hanya memberikan tingkat pemulihan Wall Street 50:50. Sedangkan jika anda membiarkan suku bunga tetap, anda berarti sangat memperhatikan tingkat inflasi. Dan ini, if I may to remind you sir, ini adalah tugas utama anda sebagai Chairman the Federal Reserve.”

“Tidak ada orang yang akan menyalahkan anda jika anda tidak menurunkan suku bunga dan Wall Street kembali jatuh” lanjut Bu Elisa “Karena ini bukanlah tugas utama anda. Namun anda akan dianggap unsubordinate jika tidak mengendalikan inflasi dengan mempertahankan suku bunga karena ini adalah tugas utama anda.”

“Terima kasih Elisa. Giliran anda Budi.”

“Once again sir, with all due respect, perception is everything. People around the world look on our DJIA to measure our economic condition. This is how the global investment works whether you like it or not. If DJIA rebound, people get confidence. If they’re confidence then they are happy. If they are happy, money will flow to United States. Then we’ll correct our deficit.”

“Thank you both of you. Now will you excuse me, I need sometime alone to think”

Setelah mereka keluar ruangan saya kembali bingung. Di satu sisi saya tertekan untuk menurunkan suku bunga sesuai harapan Wall Street. Namun jika langkah ini saya ambil tidak ada jaminan Wall Street akan pulih. Malah inflasi bisa tidak terkendali dan saya dianggap gagal melakukan tugas utama.

Di sisi lain jika saya tidak menurunkan suku bunga, kemungkinan besar investor akan panik dan Wall Street collapse. Namun inflasi kemungkinan besar bisa saya kendalikan, yang mana ini adalah tugas utama saya.

Di tangan kiri menyelamatkan Wall Street, di tangan kanan mengendalikan inflasi. Duh bingung.

Di tengah kebingunan itu saya mendengar alarm hp saya berbunyi sehingga saya terbangun.


The Following Takes Place Between 5 a.m to 6 a.m

Saat terbangun saya lega ternyata saya bukan Bernanke yang harus membuat keputusan sulit. Namun tetap saya tidak dapat menghilangkan rasa bersalah saya telah memberikan jawaban yang ngaco kepada wartawati itu kemarin.

Mungkin sebagai tebusan rasa bersalah saya maka saya akan menceritakan mimpi saya menjadi Bernanke ini dengan harapan dia dapat memahami mengapa kemarin saya tidak memberikan jawaban yang benar. Karena saya bingung; la wong Bernanke saja yang merupakan Chairman the Federal Reserve bingung … apalagi saya yang cuma mantan head of research.


Note : this article is widely inspired by the life of David Palmer, the greatest president in the US history ….. Previously on 24.

(Artikel ini ditulis pada 17 Maret 2008)

No comments: